Laporan Pembuatan Simplisia, Ekstraksi, Standarisasi dan Isolasi-Purifikasi


LAPORAN HASIL PRAKTIKUM
FITOKIMIA







DISUSUN OLEH :
                                      NAMA         : SRI HARDINASTI
                                      NIM            : K1A015036
       KEL/GOL      : 3/B


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2018

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) adalah salah satu tumbuhan obat keluarga Zingiberaceae yang banyak tumbuh dan digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di Indonesia (Prana, 2008). Tumbuhan temulawak secara empiris banyak digunakan sebagai obat tunggal maupun campuran. Terdapat lebih dari dari 50 resep obat tradisional menggunakan temulawak (Rahcman dkk, 2007). Eksistensi temulawak sebagai tumbuhan obat telah lama diakui, terutama dikalangan masyarakat Jawa. Rimpang temulawak menjadi bahan pembuatan obat tradisional yang paling utama. Kasiat rimpang temulawak sebagai upaya pemelihara kesehatan, disamping sebagai upaya peningkatan kesehatan atau pengobatan penyakit. Rimpang temulawak sebagai obat atau bahan obat tradisional akan menjadi tumpuan harapan bagi pengembangan obat tradisional Indonesia sebagai sediaan fitoterapi yang kegunaan dan keamanan dapat dipertanggungjawabkan (Sidik, dkk., 1992).
Secara empirik temulawak telah banyak digunakan sebagai obat dalam bentuk tunggal maupun campuran untuk mengatasi saluran pencernaan, gangguan aliran getah empedu, sembelit, radang rahim, kencing nanah, kurang nafsu makan, obesitas, radang lambung, cacar air, ambeien, perut kembung, memulihkan kesehatan sehabis melahirkan (Afifah, 2003). Selain itu temulawak juga  berkhasiat untuk mencegah berbagai penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, sebagai anti oksidan yang mengikat radikal bebas, penurun kadar lipid darah, meluruhkan plak pada otak penderita penyakit Alzheimer, mampu memerangi sel kanker dan infeksi virus maupun bakteri (Barmawie,et.al., 2006).
Kemampuan temulawak untuk menghasilkan efek teraupetik ini disebabkan karena adanya kandungan senyawa kimia tertentu yang bersifat khas yang dimiliki oleh temulawak tersebut. Temulawak mengandung zat kuning yang disebut kurkumin dan minyak atsiri. Minyak atsirinya mengandung phelandrin, kamfer, borneol, xanthorrhozol, tumerol dan sineal. Berkat kandungan kurkumin dan minyak atsiri tersebut diduga penyebab berkhasiatnya temulawak (Susilo, 2005). Oleh karena itu pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengidentifikasi senyawa kurkumin serta menentukkan kadarnya dalam ekstrak rimpang temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.      Temulawak
Temulawak termasuk dalam famili Zingberaceae yang memiliki morfologi yaitu berbatang semu basah, berwarna hijau atau coklat gelap, membentuk rumpun yang tingginya bervariasi. Ada yang mencapai 0,5 – 2,5 m tergantung keadaan lingkungan tumbuhnya. Daunnya melebar panjang mirip daun pisang dan tiap tanaman mempunyai daun antara 2 – 9 helai, berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap dengan ukuran panjang 31 – 84 cm dan lebar antara 10 – 18 cm. Tanaman temulawak membentuk rimpang induk bulat panjang dengan anak rimpang sebanyak 3 – 7 buah. Permukaan luar rimpang berkerut dan berwarna coklat kuning sampai coklat sedangkan bidang irisannya berwarna coklat kuning buram, melengkung tidak beraturan / tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada batas antara silinder pusat dengan korteks (Syamsudin, 1999).
Secara empirik temulawak telah banyak digunakan sebagai obat dalam bentuk tunggal maupun campuran untuk mengatasi saluran pencernaan, gangguan aliran getah empedu, sembelit, radang rahim, kencing nanah, kurang nafsu makan, obesitas, radang lambung, cacar air, ambeien, perut kembung, memulihkan kesehatan sehabis melahirkan (Afifah, 2003). Selain itu, menurut Nurmalina dan Valley (2012), rimpang temulawak memiliki efek farmakologi seperti, antibakteri/antijamur, antidiabetik, analgesik, antelmintik, antihepatotoksik, antiinflamasi dan antioksidan. Efek farmakologi dari rimpang temulawak diduga karena adanya dua zat aktif utama yang terkandung berupa kurkumin dan xanthorrhizol (Nurcholis dkk., 2012).
                        Adapun taksonomi tumbuhan temulawak sebagai berikut (Rukmana, 1995):                 Kingdom         : Plantae         
Divisi               : Spermatophyta
Subdivisi         : Angiospermae
Kelas               : Monocotyledonae
Ordo                : Zingiberaceae
Famili              : Zingiberaceae

Genus              : Curcuma
Spesies             : Curcuma xanthorriza Roxb. 
2.      Simplisia
Simplisia merupakan bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apa pun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia ini terbagi menjadi tiga golongan yaitu:
a.    Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat-zat atau bahan-bahan nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan/diisolasi dari tanamannya.
b.    Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni, misalnya minyak ikan (Oleum iecoris asselli) dan madu (Mel depuratum).
c.    Simplisia pelican atau mineral adalah simplisia berupa bahan elican atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni, contoh serbuk seng dan serbuk tembaga (Depkes RI, 1989).

Menurut Depkes RI (1989) secara umum simplisia dapat dibuat melalui beberapa tahapan yaitu :
a.    Pengumpulan bahan baku (waktu panen) merupakan hal yang harus diperhatikan, karena ini akan berpengaruh pada kandungan senyawa (metabolit sekunder) yang terdapat pada tanaman tersebut. waktu panen yang tepat adalah disaat bagian tanaman yang di panen mengandung kadar senyawa aktif pada jumlah besar.
b.    Sortasi basah untuk memisahkan kotoran dan bahan asing seperti tanah, rumput, kerikil atau bagian tanaman lainnya yang telah rusak yang nantinya dapat mempengaruhi mutu simplisia.
c.    Pencucian untuk menghilangkan pengotor seperti tanah dan mikroba yang menempel pada bagian tanaman. Pencucian ini dilakukan dengan menggunakan air bersih sebnayak 3 kali untuk memastikan bahwa tanaman tersebut telah benar-benar bersih dari pengotornya.
d.   Perajangan yang bertujuan untuk memperluas permukaan simplisia sehingga proses pengeringan akan lebih cepat dan efektif. Selain itu akan mempermudah dalam proses pengepakan ataupun penggilingan.
e.    Pengeringan untuk mengurangi kadar air pada simplisia (kadar air kurang dari 10 %), karena untuk menghalangi terjadinya reaksi enzimatik yang dapat mengkatabolisme zat-zat aktif pada simplisia. Selain itu pengeringan juga berujuan untuk menghalangi proses pembusukan yang dapat disebabkan oleh jamur, kapang dan bakteri.
f.     Sortasi kering untuk memisahkan bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lainnya yang masih tertinggal.
g.    Pengepakan dan penyimpanan, simplisia yang telah jadi disimpan dalam wadah yang sesuai.

3.      Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu serbuk simplisia, sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut (Departemen Kesehatan RI, 2006). Beberapa metode yang banyak digunakan untuk ekstraksi bahan alam antara lain :
a.         Sonikasi
Sonikasi merupakan salah satu metode ekstraksi cair-cair yang memanfaatkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 42 kHz yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut meskipun pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa bioaktif dari dalam sampel rambut ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi mengandalkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses pembentukan gelumbung gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi pelarut kedalam dinding sel tanaman. (Ashley, 2001). Metode ekstraksi sonikasi juga efisien dan mempersingkat waktu ekstraksi (Melecchi, 2006).
b.         Maserasi
Maserasi adalah proses penyaringan simplisia menggunakan pelarut dengan perendaman dan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan kosentrasi larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel. Cairan penyaring yang digunakan dapat berupa air, etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya (Noshirma dan Ruben, 2016).
Maserasi merupakan proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan. Prosedurnya dilakukan dengan merendam simplisia dalam pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup. Pengadukan dilakukan dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi. Kelemahan dari maserasi adalah prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Ekstraksi secara menyeluruh juga dapat menghabiskan sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi hilangnya metabolit. Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang terlarut pada suhu kamar (27oC). Ekstraksi secara maserasi dilakukan pada suhu kamar (27oC), sehingga tidak menyebabkan degradasi metabolit yang tidak tahan panas (Departemen Kesehatan RI, 2006).
4.      Standarisasi Ekstrak
Standarisasi merupakan serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam arti memenuhi syarat dtandar (kmia, biologi dan farmasi) untuk menjamin stabilitas sebagai produk kefarmasian umunya. Standarisasi ekstrak ini penting dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan bahan obat (simplisia dan ekstrak) sehingga memberikan efikasi yang terukur (Departemen Kesehatan RI, 2000).
Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat terbagi menjadi 2 yaitu :
a.         Parameter spesifik, berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis.
b.         Parameter non-spesifik, berfokus pada aspek kimia, mikrobiologis dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas, seperti susut pengeringan, kadar air, kadar abu, residu pestisida dan cemara pestisida.

5.      Pemisahan dan Pemurnian (purifikasi ekstrak)
Dalam mengsiolasi suatu senyawa, perlu dilakukan pemisahan komponen-komponen yang terdapat dalam ekstrak tersebut. Teknik yang banyak digunakan adalah kromatografi. Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Dalam kromatografi, komponen- komponennya akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat. Beberapa teknik kromatografi yang banyak digunakan antara lain kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi kolom vakum (KVC), kromatografi kolom gravitasi (KG) dan kromatotron.
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah suatu teknik  pemisahan komponen-komponen campuran suatu senyawa yang melibatkan partisi suatu senyawa di antara padatan penyerap (adsorbent, fasa diam) yang dilapiskan pada pelat kaca atau aluminium dengan suatu pelarut (fasa gerak) yang mengalir melewati adsorbent (padatan penyerap). Pengaliran pelarut dikenal sebagai proses pengembangan oleh pelarut (elusi). KLT mempunyai peranan penting dalam pemisahan senyawa organik maupun senyawa anorganik, karena relatif sederhana dan kecepatan analisisnya. Di dalam analisis dengan KLT, sampel dalam jumlah yang sangat kecil ditotolkan menggunakan pipa kapiler di atas permukaan pelat tipis fasa diam (adsorbent), kemudian pelat diletakkan dengan tegak dalam bejana pengembang yang berisi
sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi kapiler, pelarut mengembang naik sepanjang permukaan lapisan pelat dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam sampel (Atun, 2014).















BAB III
METODE
1.      Pembuatan Simplisia
a.       Dipisahkan sampel dari kotoran dan bahan asing (tanah, rumput, bagian tanaman yang rusak serta kerikil) (Sortasi basah)
b.      Dicuci sampel dengan menggunakan air bersih sebanyak 3 kali dan tiriskan beberapa saat (Pencucian)
c.       Dilakukan perajangan (pengecilan) pada sampel dengan menggunakan pisau atau alat lainnya.
d.      Dikeringkan sampel yang telah dirajang menggunakan oven ataupun panas matahari (dengan memberikan kain hitam pada bagian atas sampel saat proses penjemuran) (Pengeringan)
e.        Dilakukan pemisahan kotoran-kotoran yang masih tertinggal atau bagian tanaman yang rusak pada sampel yang telah kering (Sortasi kering)
f.       Terakhir disimpan simplisia kering temulawak pada wadah yang telah disediakan (Penyimpanan)
g.      Didokumentasi hasil simplisia sebelum dan sesudah dikeringkan.

2.      Ekstraksi
a.       Simplisia diserbukkan dengan bantuan blender
b.      Sebanyak 25 gram serbuk simplisia diekstraksi dengan menggunakan pelarut (etanol 96%, etanol 50 % dan aquadest) sebanyak 200 mL
c.       Diekstraksi. Proses esktraksi dapat dilakukan dengan dua metode yaitu :
1.      Metode sonikasi yaitu serbuk + pelarut diekstraksi dengan bantuan sonikator selama 30 menit atau 15 menit sebanyak 2 kali. Dipisahkan maserat dengan proses filtrasi, diulangi proses penyarian sebanyak 2 kali dengan jumlah pelarut yang sama.
2.      Metode maserasi yaitu serbuk + pelarut diekstraksi direndam selama 18 jam, sambil diaduk sesekali selama tiga hari. Dipisahkan maserat dengan proses filtrasi.
Pada praktikum ini digunakan metode sonikasi.
d.      Digabungkan maserta hasil penyarian dan diuapkan sampel menjadi ekstrak kental, dihitung rendemen ekstraksi
e.         Ditetapkan perbandingan solven ekstraksi yang optimal menggunakan SLD (Simplex Lattice Design) 2 parameter berdasarkan perolehan rendemen ekstraksi.

3.      Standarisasi Ekstrak
a.       Dilakukan penetapan standar spesifik ekstrak
1.      Identitas ekstrak
Nama ekstrak              :
Nama tumbuhan          :
Senyawa identitas       :
2.      Organoleptis
Bentuk                        :
Warna                          :
Bau                              :
Rasa                            :
Untuk parameter bau, ditetapkan setelah sampel terpapar udara selama 15 menit.
3.      Pola kromatografi dan kadar kurkumin (KLT-Imagej)
a.    Dibuat larutan sampel ekstrak dengan kadar 2 mg/mL dengan etanol 96% dalam ependorf.
b.   Disonikasi atau divortex larutan sampel ekstrak dalam ependorf.
c.    Ditotolkan sampel sebanyak 5  sebanyak 3 totolan
d.   Dielusi plat KLT dengan fase gerak CHCl3:MeOH (19:1)
e.    Digunakan imagej untuk memprediksi AUC pada spot kurkumin
f.    Dihitung kadar kurkumin menggunakan kurva baku yang telah ditetapkan.

4.      Pemisahan dan Pemurnian (purifikasi ekstrak)
a.    Dilakukan purifikasi ekstrak dengan solven etil asetat dengan perbandingan 1:20
b.    Dikumpulkan solvent hasil fraksinasi dan diuapkan. Dihitung berat hasil fraksinasi
c.    Ditetapkan kadar kurkumin pada fraksi
d.   Dibandingkan kadar kurkumin pada ekstrak kasar dan ekstrak terpurifikasi.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Pembuatan Simplisia
            Pada praktikum kali ini jenis simplisia yang dibuat adalah simplisia nabati yang berasal dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb). Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) termasuk famili Zingberaceae. Temulawak satu famili dengan anggota temu-temuan lainnya, yakni temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica Val.), kencur (Kaempferia galanga) dan jahe (Zingiber officinale Rosc). Di sepanjang daerah tropis dan subtropis, famili Zingiberaceae terdiri dari 47 genus dan 1400 spesies (Afifah, 2003).
Pada pembuatan simplisia ini tahap awal yang dilakukan yaitu ditimbang temulawak sebanyak 1000 gr, kemudian di pisahkan dari pengotor dan bahan asing seperti tanah, rumput maupun bagian tanaman yang rusak, tahap ini disebut juga dengan tahap sortasi basah. Selanjutnya sampel dicuci dengan menggunakan air bersih sebanyak 3 kali agar pengotornya benar-benar hilang, sehingga nantinya didapat temulawak yang bersih. Dengan adanya pengotor misalnya tanah akan mempengaruhi hasil dan kualitas simplisia yang dibuat. Setelah itu ditiriskan, dengan cara diletakkan di atas kertas koran. Hal ini karena kertas koran bersifat adsorben air atau dapat menyerap air, sehingga sisa air yang ada pada temulawak tinggal sedikit dengan demikian proses pengeringan nanti menjadi lebih optimal. Dilanjutkan dengan perajangan (pengecilan) temulawak  dengan menggunakan pisau atau cutter. Perajangan ini bertujuan untuk memperluas permukaan simplisia sehingga proses pengeringan akan lebih cepat dan efektif, selain itu akan mempermudah dalam prose pengepakan ataupun penyerbukan simplisia.
Kemudian temulawak yang telah dirajang tersebut dikeringkan dengan sinar matahari dengan diberikan kain hitam pada bagian atas sampel saat proses penjemuran. Pengeringan ini sebernarnya bertujuan untuk mengurangi kadar air pada simplisia temulawak dan biasanya kadar air pada simplisia itu harus kurang dari 10 % (Zahro, 2009). Pengurangan kadar air ini dilakukan untuk menghalangi terjadinya reaksi enzimatik yang dapat mengkatabolisme zat-zat aktif pada simplisia, sehingga nantinya bisa jadi zat aktif dalam simplisia yang semulanya memberikan efek teraupetik tapi malah menimbulkan toksik, serta mencegah timbulnya artefak. Selain itu pengeringan juga bertujuan untuk menghalangi proses pembusukan yang dapat disebabkan oleh jamur, kapang dan bakteri. Pengeringan ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan dijemur langsung dibawah sinar matahari dan dengan menggunakan oven. Bedanya pengeringan matahari membutuhkan waktu pengeringan lebih lama bila dibandingkan dengan pergeringan oven. Suhu pengeringan dengan matahari tidak stabil sehingga laju penguapannya juga tidak stabil dan sulit dikontrol dari faktor kelembaban udara serta gerakan angin. Simplisia hasil dari pengeringan oven mempunyai bau yang lebih harum dan warnanya lebih cerah (Zahro, 2009). Sedangkan simplisia hasil pengeringan dengan matahari baik dari pagi sampai siang maupun dari pagi sampai sore mempuyai warna yang lebih gelap yaitu berwana jingga kecoklatan dan terdapat bercak-bercak putit, karena pengeringan dengan sinar matahari dipengaruhi oleh angin yang dapat membawa debu,  gangguan burung, seragga, dan mikroorganisme (Praasad, dkk., 2006).
Selanjutnya, setelah simplisia telah kering, dilanjutkan dengan memisahkan simplisia dari zat pengotor yang mungkin masih tertinggal atau bagian tanaman yang rusak pada simplisia tersebut, sehingga nantinya didapatkan simplisia dengan kualitas baik. Simplisia tersebut kemudian simpan ke dalam wadah plastik yang  sesuai (telah disediakan).  Sebaiknya simplisia dalam wadah tersebut diberi silika agar nantinya air yang masih terkandung dalam simplisia bisa diserap dan juga untuk mencegah munculnya jamur dalam simplisia yang nantinya akan mempengaruhi kualitas simplisia itu sendiri.  Berdasarkan simplisia yang telah dibuat didapatkan hasil seperti pada tabel 1.
Pengujian
Hasil Pengamatan
Berat simplisia
93,57 gr (dari bobot awal 500 gr )
Susut pengeringan
1000-93,578 / 1000 x 100 % = 90.643 %
Warna
Coklat muda
Bau
Bau khas temulawak
Rasa
Pahit
Tabel 1. Hasil pengamatan Simplisia Rimpang Temulawak
2.      Ekstraksi dan pengentalan
Proses ekstraksi diawali dengan menyerbukkan simplisia dengan bantuan blender. Hal ini karena pada prinsipnya derajat kehalusan simplisia dapat mempengaruhi efektifitas dari proses ekstraksi. Semakin halus simplisia maka tebal lapisan batas simplisia akan semakin berkurang dan luas permukaan kontak dengan pelarut akan semakin besar sehingga proses ekstraksi akan semakin efektif. Namun simplisia yang terlalu halus akan menimbulkan beberapa kemungkinan seperti keluarnya zat ballast seperti resin dari sel yang pecah sehingga dapat mengotori ekstrak, dan amilum yang keluar dari sel rimpang dan biji akan menggumpal bila ada pemanasan menggunakan pelarut air atau alkohol kadar rendah.
Ekstraksi pada praktikum ini dilakukan menggunakan dua metode yaitu sonikasi dan maserasi. Untuk metode sonikasi delakukan dengan cara 25 gram simplisia yang telah diserbukkan dilarutkan dengan tiga pelarut yang berbeda yaitu pelarut etanol 96%, etanol 50% dan aquadest masing- masing sebanyak 200 mL selama 30 menit di dalam erlenmeyer. Hal ini bertujuan untuk menentukkan pelarut mana yang paling optimal untuk digunakan dalam mengekstraksi simplisia rimpang temulawak.  Karena metode ekstraksi ini adalah sonikasi maka campuran dalam erlenmeyer tersebut dimasukkan ke dalam alat sonikator untuk diekstraksi. Prinsip sonikasi ini yaitu ekstraksi dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik pada frekuensi 42 kHz untuk meningkatkan transfer massa yang disebabkan oleh naiknya penetrasi pelarut ke dalam jaringan tumbuhan lewat efek kapiler. Gelembung kavitasi akan terbentuk pada dinding sel tanaman akibat adanya gelombang ultrasonik. Efek dari pecahnya gelembung kavitasi ini dapat mengakibatkan peningkatan pori-pori dinding sel. Gelembung kavitasi akan terpecah disebabkan oleh tipisnya bagian kelenjar sel tumbuhan yang dapat mudah rusak oleh sonikasi (Melecchi dkk. 2006). Hal ini yang menyebabkan proses ekstraksi dengan menggunakan gelombang ultrasonik menjadi lebih cepat dari metode konvensional dengan cara maserasi maupun ekstraksi soxhlet.
Setelah 30 menit, masing-masing maserat hasil ekstraksi disaring dengan menggunakan kain mori kemudian dikumpulkan ke dalam wadah (toples) yang berbeda sesuai jenis pelarut. Selanjutnya proses ekstraksi diulangi sebanyak dua kali, dengan menggunakan simplisia yang sama dan pelarut yang baru dengan jumlah yang sama.  Hal ini karena pada prinsipnya semakin lama waktu ekstraksi maka semakin banyak ekstrak yang akan didapat. Namun pada kondisi tertentu, pelarut akan mengalami kejenuhan yang berarti pelarut akan berhenti untuk mengambil/melarutkan zat aktif pada simplisia walaupun waktu ekstraksi diperpanjang tetap tidak akan mempengaruhi atau menambah hasil ekstrak. Dengan demikian dilakukan pengulangan esktraksi pada simplisia yang sama dengan menggunakan pelarut baru dengan jumlah yang sama untuk mengambil semua zat aktif yang diinginkan. 
Untuk ekstraksi dengan metode maserasi dilakukan dengan merendam 25 gram serbuk simplisia dengan pelarut yang berbeda seperti halnya pada metode sonikasi, kemudian diesktraksi selama 3 hari (remaserasi), dimana pelarut diganti setiap 18 jam serta diaduk sesekali hal ini bertujuan untuk menghancurkan kesetimbangan dalam sistem tersebut. Ketika proses ekstraksi dengan maserasi, ruang dalam wadah tempat ekstraksi harus tersisa minimal 30% untuk proses aerasi. Prinsip ekstraksi menggunakan maserasi ini yaitu adanya difusi cairan penyari ke dalam sel tumbuhan yang mengandung senyawa aktif. Difusi tersebut mengakibatkan tekanan osmosis dalam sel menjadi berbeda dengan keadaan diluar. Senyawa aktif kemudian terdesak keluar akibat adanya tekanan osmosis didalam dan diluar sel (Dean, 2009). Maserat dari masing-masing ekstrak selanjutnya dikumpulkan dalam toples untuk kemudian dikentalkan.
Proses pengentalan ekstrak dilakukan dengan hot plate dibawah suhu 50°C  hal ini bertujuan untuk menguapkan pelarut sehingga didapatkan ekstrak kental. Sehingga didapat hasil akhir berupa enam ekstrak kental. Ekstrak kemudian ditimbang, dan dihitung persen rendemennya dengan rumus berikut:
               
Dengan demikian didapatkan seperti pada tabel 2 berikut :

Pelarut yang digunakan
Rendemen ekstrak (%)
Sonikasi
Maserasi
Etanol 96%
5,60
12,96
Etanol 50%
49,04
37,26
Aquadest
34,80
9.68
Tabel 2 % Remdemen Ekstrak
Rendemen merupakan suatu nilai penting dalam pembuatan produk. Semakin besar rendemen yang dihasilkan maka semakin efsien perlakuan yang diterapkan dengan tidak mengesampingkan sifat-sifat lain. Rendemen merupakan perbandingan berat kering produk yang dihasilkan dengan berat bahan baku (Yuniarifn et al. 2006).  Dalam Farmakope Herbal Indonesia (2008), Persen rendemen untuk ekstrak kental rimpang temulawak adalah tidak kurang dari 18%. Berdasarkan hasil yang didapat menunjukkan bahwa % rendemen tertinggi terdapat pada ekstrak etanol 50% dan aquadest metode sonikasi serta etanol 50% metode maserasi, hal ini karena metode sonikasi bekerja dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik yang dapat meningkatkan permeabilitas sel pada simplisia sehingga menyebabkan isi sel keluar. Hal tersebutlah yang menyebabkan proses ekstraksi dengan menggunakan gelombang ultrasonik menjadi lebih cepat dari metode konvensional dengan cara maserasi maupun ekstraksi soxhletasi Melecchi dkk. 2006).
Selanjutnya dilakukan penetapan perbandingan solven ekstraksi yang optimal menggunakan persamaan SLD (Simplex Lattice Design) berdasarkan perolehan rendemen ekstrak (rendemen sonikasi). Sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut :

                  
Dengan demikian perbandingan pelarut ekstraksi yang optimal yaitu dengan konsentrasi etanol 60% (etanol 0.6 : aquades 0.4) dengan perolahan % rendemen sebesar 50.8064 %.
3.      Standarisasi Ekstrak
Standarisasi merupakan serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam arti memenuhi syarat dtandar (kmia, biologi dan farmasi) untuk menjamin stabilitas sebagai produk kefarmasian umunya. Standarisasi ekstrak ini penting dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan bahan obat (simplisia dan ekstrak) sehingga memberikan efikasi yang terukur. Standarisasi ini dibedakan menjadi dua yaitu standarisasi non-spesifik dan standarisasi spesifik.
Pada praktikum ini dilakukan standarisasi spesifik yang meliputi identitas ekstrak dan organoleptis, serta penentuan pola kromatograsi dan kadar kurkumin dengan menggunakan ImageJ terhadap ekstrak yang didapat. Sehingga didapatkan hasil sebagai berikut :
a.         Identitas ekstrak
Nama ekstrak             : Ekstrak rimpang temulawak (Curcumae Xanthorrizae Rhizomae ekstractum).
Nama tumbuhan          : Temulawak (Curcumae Xanthorrizae Rhizomae)
Senyawa identitas       : Xantorizol
b.         Organoleptis
Bentuk                        : Ekstrak kental
Warna                          : Cokelat tua
Bau                              : Bau khas temulawak
Rasa                            : Pahit
Dari data diatas menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh telah sesuai dengan ekstrak rimpang temulawak (Curcumae Xanthorrizae Rhizomae ekstractum) yang tercantum dalam Farmakope Herbal Indonesia (2008).
            Selanjutnya masing-masing ekstrak dilakukan penentuan dengan pola kromatografi dengan cara dilarutkan ekstrak dengan etanol 96% dengan kadar 2 mg/mL dalam ependorf, kemudian divortex atau disonikasi agar campuran menjadi homogen. Penggunaan etanol 96% ini untuk menarik kurkumin dalam ekstrak, karena kurkumin yang merupakan senyawa non-polar liposoluble cukup larut dalam pelarut  organik, dan larut dengan baik dalam pelarut alkohol yang bersifat semipolar (etanol dan metanol) (Popuri dan Bangaraiah, 2013). Selanjutnya masing-masing ekstrak ditotolkan pada plat KLT 10x10 cm (sebagai fase diam) dengan jarak masing-masing totolan 1 cm masing-masing 3 totolan. Plat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam chamber yang berisi eluen (fase gerak) untuk dipisahkan.
Eluen yang dipakai merupakan campuran dari 2 pelarut yaitu CHCl3:MeOH (19:1), hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan proses pemisahan oleh fase gerak, agar nantinya membentuk spot yang baik. Fase gerak ini nantinya akan bergerak melalui fase diam dan membawa komponen-komponen dengan kecepatan yang berbeda untuk komponen yang berbeda. Karena pada kromatografi lapis tipis komponen dipisahkan antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang memiliki interaksi yang kuat dengan fase diam akan tertinggal, sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat (Misfadhila, 2016).
Namun sebelum digunakan, fase gerak dalam chamber harus dijenuhkan terlebih dahulu dengan cara menutup rapat chamber dengan tujuan agar eluen dalam chamber jenuh dengan uap pelarut, penjenuhan udara dalam chamber dengan uap dapat mencegah penguapan pelarut (Misfadhila, 2016). Selain itu penjenuhan ini juga bertujuan agar mengoptimalkan proses pemisahan oleh fase gerak, sehingga kromatografi gagal dan hasil yang diperoleh tidak teliti. Adapun cara penjenuhan eluen menurut FI Edisi III (1979), kecuali dinyatakan lain pada masing-masing monografi tempatkan pada dua sisi bagian dalam bejana kromatografi, 2 helai kertas saring dengan tinggi 2 cm dan lebarnya sama dengan panjang bejana, lalu masukkan kurang lebih 100 ml pelarut atau eluen kedalam bejana kromatografi hingga tinggi, pelarut 0,5 sampai dengan 1 cm. Tutup rapat, biarkan sistem bekerja mencapai kesetimbangan. Kertas saring harus basah seluruhnya. Seluruh sisi bejana dapat juga dilapisi dengan kertas saring. Pada bagian dasar kertas saring harus tercelup ke dalam pelarut.
Setelah fase gerak dalam chamber jenuh, maka plat KLT yang sudah ditotolkan dengan sampel dimasukkan ke dalam chamber. Ketika fase gerak mulai membasahi plat, fase gerak akan melarutkan senyawa-senyawa dalam sampel esktrak. Senyawa akan bergerak pada plat seperti bergeraknya fase gerak, setelah itu terbentuk beberapa spot noda karena sampel akan ikut berinteraksi dengan silika yang ada pada lempengan. Selanjutnya noda dideteksi di bawah sinar UV pada pada gelombang 254 nm. Sehingga didapatkan nilai Rf untuk ekstrak kental dengan etanol 96% sebesar 0,874, Rf untuk ekstrak kental dengan etanol 50% sebesar 0,856 dan aquadest sebesar 0, hal ini karrena senyawa kurkuminoid mempunyai kecenderungan tidak larut  terhadap air (Pothitirat and Gritsanapan, 2006). Sedangkan nilai Rf standar untuk kurkumin yaitu 0,83 Rf merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu komponen pada kromatografi. Berdasarkan nilai Rf tersebut, dapat disimpulkan bahwa senyawa tersebut merupakan senyawa kurkumin, karena memiliki nilai Rf yang hampir sama.
Selanjutnya dari spot yang dihasilkan, dapat digunakan untuk menentukkan kadar kurkumin pada masing-masing ekstrak dengan bantuan ImageJ untuk memprediksi AUC pada spot kurkumin. Dengan demikian masing-masing ekstrak kental dengan pelarut etanol 96% dan etanol 50% didapatkan tiga luas area dengan persamaan regresi linier dari kurva standar Y= -263560x + 153683, R2 = 0,98 yang dapat dilihat pada tabel 3. Berikut :
Pelarut
Luas Area
Kadar Kurkumin (mg/10µL)
Etanol 50%
7330,276
0,030
8020,397
0,028
7629,589
0,029
Etanol 96%
8466,953
0,00263
5284,397
0,038
6077,640
0.035
Tabel 3. Kadar Kurkumin pada masing-masing luas area ekstrak.

Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar kurkumin tertinggi terdapat pada ekstrak etanol 96%. Menurut Popuri dan Bangaraiah (2013), kurkumin merupakan senyawa non-polar liposoluble yang tidak larut  dalam air, tetapi cukup larut dalam pelarut  organik, dan larut dengan baik dalam pelarut alkohol yang bersifat semipolar (etanol dan metanol). Jadi semakin tinggi konsentrasi etanol, akan semakin banyaklah kandungan etanol, sehingga semakin banyak kurkumin yang larut  ke dalam etanol,  dan semakin banyak kurkumin  yang teresktrak.

4.      Pemisahan dan Pemurnian (isolasi dan purifikasi)
Proses terakhir yaitu dilakukan pemisahan dan pemurnian ekstrak etanol 96%, karena mengandung kadar kurkumin yang paling tinggi. Pemurnian ini dilakukan dengan melarutkan 1 gram ekstrak kental dengan pelarut etanol 96% dengan etil asetat 20 mL (1:20). Campuran tersebut terbentuk suatu endapan yang berasal dari zat pengotor karena telah terpisah dengan kurkumin yang terkonsentrasi pada supernatan akibat penambahan pelarut etanol 96%, kemudian supernatan dikumpulkan sedangkan endapan dilarutkan kembali dengan pelarut yang sama untuk menarik kurkumin yang mungkin masih bercampur dengan pengotornya. Supernatan yang telah dikumpulkan diuapkan dengan penangas air pada suhu 45°C untuk menguapkan pelarut etanolnya, sehingga didapatkan ekstrak kental yang mengandung senyawa kurkumin.
Ekstrak kental ditimbang dan selanjutnya dilarutkan dengan etil asetat. Untuk ekstrak kasar (ekstrak kental etanol 96% awal) ditimbang sebanyak 0.001 gr dan dilarutkan dengan etil asetat. Masing-masing larutan ekstrak terpurifikasi dan tidak terpurifikasi (kasar) kita totolkan pada plat KLT yang sama untuk diketahui perbandingan kadar kurkumin antara ekstrak yang terpurifikasi dengan tidak. Eluen yang digunakan berupa campuran CHCl3:MeOH (19:1), dijenuhkan terlebih dahulu, kemudian plat dimasukkan ke dalam chamber.
        Selanjutnya pola kromatogram dilihat dibawah sinar UV 254 nm dan terlihat 8 spot, dimana diketahui senyawa kurkumin berada pada Rf ketiga, sedangkan Rf pertama merupakan senyawa bisdemetoksi kurkumin dan pada Rf kedua merupakan senyawa demetoksi kurkumin. Dihitung kadar kurkumin pada masing-masing ekstrak dengan menggunakan persamaan Y= -263560X + 153683 dengan R2 = 0.9819, dan didapatkan hasil seperti pada tabel 4 berikut :
Ekstrak
Kadar Kurkumin (mg/10µL)
Metode Sonikasi
Metode Maserasi
Terpurifikasi
0.535
0.529
Tidak Terpurifikasi
0.551
0.524
      Tabel 4. Kadar kurkumin pada ekstrak terpurifikasi dan tidak terpurifikasi

Dari hasil diatas menunjukkan bahwa kadar kurkumin pada metode ekstraksi sonikasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode maserasi. Hal ini karena metode sonikasi bekerja dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik yang dapat meningkatkan permeabilitas sel pada simplisia sehingga menyebabkan isi sel keluar. Akibatnya senyawa dalam simplisia lebih mudah dan cepat untuk terekstrak bila dibandingkan dengan cara maserasi maupun ekstraksi soxhletasi Melecchi dkk. 2006).
Selain itu hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar kurkumin pada ekstrak tidak terpurifikasi lebih banyak bila dibandingkan dengan ekstrak terpurifikasi. Menurut Azizah dan Nina (2013), Ekstrak etanol rimpang yang terpurifikasi memiliki kadar kurkumin yang lebih tinggi karena mengandung zat pengotor atau zat balast yang lebih kecil daripada ekstrak etanol yang tidak terpurifikasi. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan efek farmakologi yang lebih baik karena ekstrak terpurifikasi memiliki kandungan kurkumin yang lebih tinggi dengan membatasi sekecil mungkin zat balast yang ikut tersari dalam ekstrak sehingga dapat mengurangi efek yang tidak diinginkan dari penggunaan ekstrak dalam pengobatan.








BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa identifikasi senyawa kurkumin pada rimpang temulawak dimulai dengan mengekstraksi simplisia rimpang temulawak baik dengan metode sonikasi mapun maserasi kemudian dikentalkan. Indentifikasi dilakukan menggunakan KLT-ImageJ dengan eluen metanol:kloroform (19:1), kemudian spot dibaca dibawah sinar UV 245 nm. Sehingga pada metode sonikasi diperoleh kadar kurkumin untuk metode sonikasi ekstrak terpurifikasi sebesar 0.535 mg/10µL dan kadar kurkumin tidak terpurifikasi 0.551 mg/10µL. Sedangkan kadar kurkumin untuk metode maserasi didapat kadar kurkumin terpurifikasi sebesar 0.529 mg/10µL dan kurkumin pada ekstrak tidak terpurifikasi sebesar 0.524 mg/10µL.




















DAFTAR PUSTAKA

Afifah, E., dan Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak Rimpang
Penyembuh Aneka Penyakit
. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Atun, S. 2014. Metode Isolasi Dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Vol. 8(2), hal. 53-61.
Azizah B., dan Nina S. 2013. Standarisasi Parameter Non Spesifik Dan Perbandingan Kadar Kurkumin Ekstrak Etanol Dan Ekstrak Terpurifikasi Rimpang Kunyit. Jurnal Ilmiah Kefarmasian, Vol. 3( 1), hal. 21-30.
Barmawie,N., dkk.,  2006Status Teknologi Budidaya Dan Pasca Panen Tanaman Kunyit dan Temu Lawak Sebagai Penghasil KurkuminBuletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat, 18 (2) : 84 – 99.
Dean, J. 2009. Extraction Techniques In Analytical Science. London: John Wiley And Sons LTD.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 1989. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Cetakan Pertama. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 
Noshirma M., dan  Ruben W.W. 2016. Larvasida Hayati Yang Digunakan Dalam Upaya Pengendalian Vektor Penyakit Demam Berdarah Di Indonesia. SEL, Vol. 3(1), hal. 31-40.
Nurcholis, W., dkk. 2012. Variasi Bioaktif dan Bioaktivitas Tiga Nomor Harapan Temulawak  pada Lokasi    Budidaya Berbeda. J. Argon Indonesia, Vol. 40, No. 2.
Nurmalina, R & Valley, B. 2012. Herbal Legendaris untuk Kesehatan Anda. Jakarta : PT Elex  Media Komputindo.
Pothitirat, W., and Gritsanapan,W. 2006. Variation of Bioactive Components in Curcuma longa in Thailand. Current Science, Vol. 91(10), hal. 1397 - 1400
Praasad, J., Vijay, V.K., Tiwari, G.N., and Sorayan, V.P.N. 2006. Study on  Performance Evaluation of Hybrid Drier for Turmeric (Curcuma longa L. Drying at Village Scale. Journal of Food Engeenering, Vol. 4(75), hal. 497-502.
Prana, M.S., 2008. The biologi of temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bogor: Biopharmaca Research Center Bogor Agricultural University.
Rachman, F., dkk., 2007. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Tunggal dan Kombinasinya dari Tanaman curcuma spp. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia,  6(2), 69-74.
Rukmana, R. 1995. Temulawak Tanaman Rempah dan Obat. Yogyakarta: Kasinius.
Sidik, Mulyono MW, Muhtadi A. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Jakarta
: Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.
Zahro, L., Bambang, C., dan Rini, B. H., 2009. Profil Tampilan Fisik dan Kandungan Kurkuminoid dari Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) Pada Beberapa Metode Pengeringan. Jumal Sains & Matematik., 17 (1), 24-32.

Comments