Hepatitis B | TEKNIK DIAGNOSA PENYAKIT HEPATITIS B (LITERATUR REVIEW)
TEKNIK DIAGNOSA PENYAKIT HEPATITIS B
(LITERATUR REVIEW)
A. Pendahuluan
Hepatitis
B merupakan penyakit radang hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B
(VHB). Sampai saat ini hepatitis B masih
menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Menurut WHO (2015) virus hepatitis telah
menyebabkan 1,34 juta kematian pada tahun 2015, dan angka ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan infeksi tuberkulosis dan HIV. Indonesia
menduduki urutan ke 3 terbanyak penderita VHB di
Asia dengan prevalensi rata-rata 20% atau sekitar
40 juta penduduk Indonesia (Lopa,
2007). Menurut Kementerian
Kesehatan RI (2015), terdapat 28 juta
penduduk Indonesia terinfeksi virus Hepatitis B dan C. Sekitar 50% dari kasus
tersebut berpotensi untuk menjadi kronis dan 10% berpotensi menuju fibrosis
hati yang dapat menyebabkan kanker hati.
Infeksi virus VHB menjadi masalah serius dalam dunia
kesehatan. Hal ini dikarenakan infeksi virus tersebut
dapat menyebabkan kerusakan sel-sel, jaringan dan bahkan semua
bagian organ hati. Dan dalam perjalanannya infeksi ini dapat
berupa infeksi akut ataupun infeksi kronik yang dapat berkembang menjadi
sirosis, karsinoma
hepatoselular, kanker hati bahkan dapat
menyebabkan kematian. Infeksi ini
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama
dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Peningkatan kasus infeksi VHB ini diperparah oleh penyebaran VHB yang
dapat terjadi dengan begitu mudah.
Dalam penyebarannya, VHB dapat menular secara vertikal maupun
horizontal. Virus
hepatitis B dapat ditularkan melalui perkutan
(misal, tusukan yang melalui kulit) atau
mukosa (misal, kontak langsung dengan membran
mukosa) paparan darah infeksius atau
cairan tubuh yang mengandung darah. Semua
orang HBsAg-positif bersifat infeksius. saliva, air mata, cairan
seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air
susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui
infeksius (Thedja, 2012). Kebanyakan orang yang terinfeksi tampak sehat dan tanpa gejala, namun bisa saja
bersifat infeksius (WHO, 2002). Hal tersebut menyebabkan infeksi HVB ini dapat
dengan mudah ditularkan antara individu satu dengan yang lainnya sehingga dapat
mengancam pada semua usia seperti bayi, anak-anak, remaja, dewasa sampai orang
tua. Dalam kasus baru menunjukkan sebesar 50% penyakit
hepatitis B disebabkan oleh penularan virus VHB
dari ibu ke bayi
(Susanti,2017).
Mengingat penyakit
hepatitis B ini merupakan masalah
kesehatan yang besar, maka diperlukan upaya
untuk melakukan pencegahan terhadap virus hepatitis B salah satu pencegahan
yaitu dengan mendeteksi dini virus tersebut. Jika
penularan VHB dapat dicegah, berarti mencegah terjadinya kerusakan hati yang
dapat mengarah ke kanker hati sampai kematian. Deteksi virus hepatitis B ini
dapat dilakukan dengan beberapa teknik pemeriksaan seperti immunochromatogaphy (ICT) atau rapid
test, Enzym Linked Immunoassay (ELISA),
Radio
Immunoassay (RIA), RPHA dan PHA. Metode tersebut merupakan jenis metode
yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan virus hepatitis B. Namun setiap metode
tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dalam pemeriksaannya.
Sehingga perlu dideskripsikan dari masing-masing metode agar nantinya mudah
untuk dibedakan antara metode satu dengan yang lainnya.
B. Batang Tubuh
Penyakit hepatitis B ini disebabkan oleh
adanya infeksi virus hepatitis B (VHB). Virus ini memiliki tiga antigen spesifik, yaitu antigen surface, envelope, dan core. Hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang
ditemukan pada permukaan VHB. Adanya antigen ini menunjukkan infeksi
akut atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B envelope antigen
(HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat hubungannya dengan nukleokapsid
VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein yang larut di serum. Antigen ini
timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan hilang bebebrapa minggu
sebelum HBsAg hilang. Hepatitis B core antigen (HbcAg) merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB. Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin dalam serum penderita infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit (WHO, 2002). Berikut adalah struktur dari VHB:
ditemukan pada permukaan VHB. Adanya antigen ini menunjukkan infeksi
akut atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B envelope antigen
(HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat hubungannya dengan nukleokapsid
VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein yang larut di serum. Antigen ini
timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan hilang bebebrapa minggu
sebelum HBsAg hilang. Hepatitis B core antigen (HbcAg) merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB. Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin dalam serum penderita infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit (WHO, 2002). Berikut adalah struktur dari VHB:
Gambar
1. Struktur VHB (Sumber : )
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa infeksi
virus hepatitis B (VHB) dapat ditularkan melalui jalur vertikal dan horizontal.
Jalur vertikal seperti dari ibu ke anak, sedangkan jalur horizontal yaitu
penularan yang terjadi akibat berinteraksi baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan penderita hepatitis B. VHB ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah atau komponennya,
saliva, cairan semen dan ASI. Selain itu kontak dengan virus juga dapat terjadi melalui
benda-benda
yang bisa dihinggapi oleh darah atau cairan tubuh manusia, misalnya sikat gigi,
alat cukur, atau alat pemantau dan alat perawatan penyakit diabetes (Mustofa dan Kurniawaty, 2013). Dengan demikian, telah dikembangkan berbagai teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi maupun memeriksa keberadaan virus hepatitis B tersebut seperti immunochromatogaphy (ICT) atau rapid test, Enzym Linked Immunoassay (ELISA), Radio Immunoassay (RIA), Passive Hemaglutination Assay (PHA) dan Reverse Passive Haemagglutination Assay (RPHA).
yang bisa dihinggapi oleh darah atau cairan tubuh manusia, misalnya sikat gigi,
alat cukur, atau alat pemantau dan alat perawatan penyakit diabetes (Mustofa dan Kurniawaty, 2013). Dengan demikian, telah dikembangkan berbagai teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi maupun memeriksa keberadaan virus hepatitis B tersebut seperti immunochromatogaphy (ICT) atau rapid test, Enzym Linked Immunoassay (ELISA), Radio Immunoassay (RIA), Passive Hemaglutination Assay (PHA) dan Reverse Passive Haemagglutination Assay (RPHA).
1.
ICT (Imunocromatographi Test)
Virus Hepatitis B dalam
tubuh pasien dapat dilakukan dengan pemeriksaan HBsAg secara imunologis dengan
menggunakan metode yang efektif dan
efisien yaitu HBsAg-rapid screening test metode imunocromatographi test (ICT). ICT disebut juga sebagai uji strip (Strip test). Akhir-akhir ini
ICT menjadi salah satu metode uji strip yang paling banyak digunakan dalam
deteksi VHB, karena berbeda dari metode yang lain, metode ini tidak memerlukan
peralatan untuk membaca hasilnya, tetapi cukup dilihat dengan kasat mata,
sehingga jauh lebih praktis. Selain itu menurut Amtarina (2006), uij strip ini akan memberikan
hasil yang analisis yang cepat. Dalam penelitian
Susanti dkk (2017), ICT digunakan
untuk mendeteksi VHB pada ibu hamil dengan cara strip HBsAg dimasukkan ke dalam masing-masing
sampel serum hingga tanda batas, dikeluarkan strip dari
sampel, dan dilakukan pembacaan hasil setelah 10 menit.
Pada prinsipnya ICT ini merupakan
uji yang dapat mendeteksi antigen yang terdapat pada serum atau plasma melalui adanya pengikatan
antara antigen (HBsAG) dengan antibody (anti-HBs) pada daerah test line,
selanjutnya antibody akan berikatan dengan colloidal gold-labeled
conjugate. Komplek yang terbentuk akan
bergerak pada membran nitroselulosa. Tes ini dapat mendeteksi konsentrasi
HBsAg dalam serum kurang dari 5 ng/ml dalam 20 menit dan 1 ng / ml dalam 30
menit (Wijayanti 2016). Adapaun tahapan dalam pemeriksaan
HBsAg untuk diagnosa Hepatitis B menggunakan metode imunocromatographi yaitu:
1.
Menyiapkan tabung
serologis dan diletakkan pada rak tabung serologis.
2.
Mengambil serum atau
plasma dengan menggunakan clinipete sebanyak 200 µl secara hati-hati.
3.
Meletakkan pada tabung
yang telah diberikan label identitas sesuai dengan pemilik sampel tersebut. Memasukkan stick dalam
tabung secara perlahan-lahan.
4.
Tunggu dan biarkan
selama 10-15 menit supaya serum bereaksi secara sempurna.
5.
Intrepetasi hasil
ini berupa adanya HBsAg dalam serum akan membentuk 2
tanda garis merah pada stick yang nampak jelas dalam waktu kurang lebih 15
menit. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Dibawah ini :
Gambar 2. Hasil imunocromatographi test (Sumber :Wijayanti
2016).
Adapun kelebihan metode ini yaitu antara lain
waktu yang diperlukan untuk pengujian relatif singkat sekitar 2-10 menit dan
hasil uji dapat dilihat secara langsung. Pengujian dengan metode ini juga dapat
dilakukan oleh setiap orang karena tidak memerlukan ketrampilan khusus seperti
halnya dalam uji ELISA. Selain itu, metode ini dapat dijadikan sebagai
pemeriksaan awal (screening test) untuk uji kualitatif dan dapat dikerjakan
langsung di lapangan karena merupakan alat uji yang sederhana. Walaupun, metode
ini lebih sederhana dan mudah dibandingkan metode lainnya, akan tetapi memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap antigen. Peralatan rapid
diagnostic ICT adalah pilihan yang
tepat digunakan karena lebih murah dan tidak memerlukan
peralatan kompleks (Rahman dkk, 2008).
2.
ELISA (Enzym Linked Imuno Sorbent Assay)
Selain itu metode lain yang juga sering
digunakan dalam deteksi VHB ini adalah ELISA (Enzym Linked Imuno Sorbent Assay). ELISA
adalah salah
satu tes pemeriksaan yang tergolong dalam generasi ketiga menurut WHO. Menurut Faisal (2012), ELISA dianggap pemeriksaan yang memiliki spesifitas dan
sensitifitas yang tinggi yang mampu menunjang diagnosa klinis hepatitis B. Sedangkan menurut Sendow dkk (2015)
menyatakan bahwa ELISA merupakan uji
serologis
sederhana dan cepat untuk mendeteksi antibodi dan antigen virus dalam sampel.
sederhana dan cepat untuk mendeteksi antibodi dan antigen virus dalam sampel.
Secara umum prinsip
dari pemeriksaan ELISA (Enzym Linked
Imuno Sorbent Assay) adalah reaksi antigen-antibodi (Ag - Ab) dimana
setelah penambahan konjugat yaitu antigen atau antibodi yang dilabel enzim dan
substrat akan terjadi perubahan warna. Perubahan warna ini yang akan diukur
intensitasnya dengan alat pembaca yang disebut spektrofotometer atau ELISA
reader dengan menggunakan panjang gelombang tertentu (Handojo dan Indro, 2004). Metode ELISA ini dibagi 2 jenis tehnik yaitu tehnik kompetitif dan non
kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirek.
Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel ditambahkan antigen yang berlabel
dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi membentuk kompleks yang terbatas
dengan antibodi spesifik pada fase padat. Prinsip dasar dari sandwich assay adalah sampel yang mengandung antigen direaksikan dengan antibody spesifik
pertama yang terikat dengan fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibodi
spesifik kedua yang berlabel enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut (Asihara dan
Kasahara, 2001).
Ada tiga tahapan penting dalam uji ELISA yaitu :
1.
Pelapisan (coating)
dengan antigen atau antibodi pada plate ( Phase padat ). Pelapisan dengan
dengan antigen untuk penentuan antibodi untuk penentuan antigen.
2.
Penambahan bahan
yang ditentukan (diperiksa), misalnya serum, plasma, saliva dan cairan tubuh
yang lain.
3.
Penambahan detektor yang berfungsi untuk
mendeteksi ikatan Ag–Ab yang terjadi. Ada dua detektor yang digunakan yaitu :
a. Penambahan
konjugat yaitu antigen atau
antibodi yang berlabel enzim,
misalnya Horse Radish Peroxidase (HRPO). Alkaline Phosphatase, Urease, Glukose-Oxidase
(GOP) dan lain-lain.
b. Penambahan substrat yang
berfungsi memberi perubahan warna pada reaksi.
Misalnya TMB (Tetra
Methyl Benzidine, O- Toluidine, OPD,
ABTS dan lain-lain.
Gambar 3. Prinsip metode ELISA (Sumber :
Anwar, 2005).
Dalam pendeteksiannya, metode ELISA ini
memiliki kelebihan tersendiri bila dibandingkan dengan metode lainnya. Menurut
Anggraini dan Sri (2014), kelebihan metode ELISA ialah
sensitivitas yang sangat tinggi
sehingga dapat mendeteksi virus pada
konsentrasi rendah (1–10 ng mL-1), dapat
menguji sampel dalam jumlah banyak secara cepat, menggunakan antiserum sedikit, memperoleh data
secara kualitatif dan
kuantitatif, dan tahapan pengujian yang mudah. Namun metode ELISA ini juga tidak terlepas
dari kekurangan. Menurut Asihara dan
Kasahara (2001), yaitu pemeriksaan menggunakan enzim sebagai label cukup kompleks karena akvitas
enzim dipengaruhi oleh berbagai factor.
3.
RIA (Radio Immunoassay)
Metode lain yang bisa digunakana untuk
deteksi VHB yaitu RIA (Radio Immunoassay). RIA adalah suatu
metode analisis berdasarkan pada reaksi imunologi atau ikatan antigen-antibodi,
dengan reaksi kompetisi antara antigen bertanda radioaktif (Ag*) dengan antigen
tak bertanda (Ag) terhadap antibodi (Ab) yang jumlahnya terbatas. Metode ini
sangat spesifik karena didasarkan pada reaksi imunologi yaitu ikatan antara
antigen-antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu dan sangat peka karena
menggunakan perunut radioaktif yang dapat dideteksi dengan alat-alat yang
kepekaannya tinggi, sehingga ketelitiannya tinggi. Oleh karena itu metode ini
banyak digunakan untuk menganalisis zat-zat yang ada di dalam cairan tubuh,
seperti serum, plasma, urine dan kultur media yang kadarnya rendah akan tetapi
matriksnya kompleks sehingga metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
fungsi organ atau suatu penyakit seperti penyakit hepatitis B (Sutari, dkk.,
2014).
Menurut Asihara dan
Kasahara (2001), metode radioimmunoassay (RIA) mempunyai 2 jenis prinsip yaitu kompetitif
dan non kompetitif. Prinsip non kompetitif yang paling banyak di gunakan
adalah sandwich. Prinsip
dasar dari sandwich adalah
reaksi suatu antibodi dalam konsentrasi yang terbatas dengan
berbagai konsentrasi antigen. Bagian dari antigen yang bebas dan yang terikat
yang timbul sebagai akibat dari penggunaan antobodi dalam kadar yang terbatas
ditentukan dengan menggunakan antigen yang diberi label radio isotop. Prinsip
radioimunoassay non kompetitif sandwich ini dapat dilihat pada gambar 4. dibawah ini
:
Gambar 4. Prinsip Radioimunoassay
Non Kompetitif Sandwich (Sumber : Anwar, 2005).
Sedangkan pada prinsip kompetitif bahan yang mengandung antigen yang berlabel
dan antigen yang terdapat di dalam
sampel akan diberi label radio isotop sehingga terjadi kompetisi antara
antigen yang akan ditentukan kadarnya dan antigen yang diberi label dalam proses
pengikatan antibodi spesifik tersebut sampai terjadi
keseimbangan. Sisa antigen yang diberi label dan tidak terikat dengan antibodi
dipisahkan oleh proses pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konjugat,
Sehingga terjadi pembentukan kompleks imun dengan konjugat. Jumlah antigen berlabel yang terikat, antibodi pada fase padat, dan konjugat dapat ditentukan dengan suatu radiation counter atau gamma counter.
keseimbangan. Sisa antigen yang diberi label dan tidak terikat dengan antibodi
dipisahkan oleh proses pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konjugat,
Sehingga terjadi pembentukan kompleks imun dengan konjugat. Jumlah antigen berlabel yang terikat, antibodi pada fase padat, dan konjugat dapat ditentukan dengan suatu radiation counter atau gamma counter.
Adapun kelebihan dari metode ini yaitu
sangat sensitivitas, tidak menimbulkan rasa
sakit, tidak memberikan efek
sampingan sehingga dapat digunakan pada hampir semua penderita penyakit
termasuk pasien yang sudah parah keadaannya
dan selain untuk evaluasi anatomis juga dapat
untuk mengetahui fungsi organ tersebut. Dalam
suatu penelitian, menyatakan bahwa sensitivitas metode ini lebih rendah bila
dibandingkan dengan metode ELISA. Selain itu kekurangan dari metode ini yaitu reagen
kurang stabil dan emerlukan
proteksi terhadap zat radioaktif (radioctive hazardous) (Nurcahyadi, 2012).
4. .
PHA
(Passive
Haemagglutination Assay)
PHA
(Passive
Haemagglutination Assay) merupakan
salah satu metode pemeriksaan yang biasa dipakai
untuk mendeteksi petanda serologis infeksi VHB (Amtarina, dkk., 2017). Prinsipnya PHA ini yaitu dengan
mengaktifkan antibodi ke Au (Au-Ab)
untuk dideteksi. Sel
darah merah teradsorbsi dengan immunoglobulin (IgG) anti HBs yg memiliki kemurnian
tinggi diaglutinasi secara khusus dengan adanya HBsAg dalam serum dan sampel
uji dapat menghambat aglutinasi baik oleh pengikatan dengan antibody binding
sites pada HBsAg atau menetralisir HBsAg.
Gambar 5. Prinsip PHA (Sumber : www.slideshare.net)
Adapun
kelebihan dari metode ini bila dibandingkan dengan metode lainnya yaitu Cocok
digunakan untuk pemeriksaan semikuantitatif karena paling praktis dan murah, haemaglutinasi pasif
(PHA) lebih sensitif daripada CIE untuk mendeteksi anti-HBs, teknik paling sederhana
dibandingkan dengan metode yang lain seperti ELISA dan RIA. Sedangkan kekurangan dari metode
ini yaitu pemeriksaannya kurang sensitive bila
dibandingkan dengan metode ELISA
dan RIA, dan merupakan tes
yang paling tidak memuaskan, terutama karena masalah teknis. Penggunaan PHA (passive
hemagglutination assay) untuk deteksi hepatitis B tidak begitu bagus karena
alat yang digunakan sering mengalami masalah teknis serta hasil yang diproleh
kurang sensitive, sehingga peneliti mengharapkan penelitian lebih lanjut dengan
metode yang lebih efisien (Amtarina, dkk., 2017).
5.
RPHA
(Reverse
Passive Haemagglutination
Assay)
Prinsip RPHA (Reverse
Passive Haemagglutination
Assay) yaitu sel darah merah yang terdiri dari eritrosit ayam yang teradsorbsi dengan immunoglobulin
(IgG) anti HBs marmot ygmemiliki kemurnian tinggi diaglutinasi secara khusus dengan adanya HBsAg dalam serum dansampel uji dapat menghambat aglutinasi baik oleh pengikatan dengan antibody binding sites pada HBsAg atau menetralisir HBsAg (Das, dkk., (2011).
Untuk pengujiannya dapat
dilakukan dengn cara pada awalnya serum
positif HBsAg positif diperoleh dari pasien terinfeksi virus hepatitis B (HBV)
yang terkait dengan penyakit hati akut dan kronis. Sampel serum dicampur dengan
volume sampel uji yang sama (0,2 ml sampel serum + 0,2 ml sampel uji). Campuran
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ° C. Sedangkankontrol hanya terdiri dari serum serapan fosfat buffer
(PBS) digunakan dalam setiap rangkaian percobaan.
Gambar 6. (Sumber :
www.slideshare.net)
Adapun kelebihan dari metode
RPHA ini
yaitu metode ini merupakan semi kuantitatif yang paling praktis dan murah bila dibandingkan dengan metode hemaglutinasi lain
seperti PHA. Namun kurang dari metode ini yaitu sensitifnya kurang bila dibandingkan dengan metode ELISA.
A.
Kesimpulan
Pemeriksaan dini hepatitis B ini berguna
untuk mencegah terjadinya infeksi hepatitis. Metode pemeriksaan yang sering
digunakan antara lain immunochromatogaphy (ICT) atau rapid test, Enzym Linked
Immunoassay (ELISA), Radio Immunoassay (RIA), Passive Hemaglutination
Assay (PHA) dan Reverse Passive Haemagglutination Assay (RPHA). Setiap metode tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Dari metode tersebut dapat dikatakan bahwa ICT
merupakan metode pemeriksaan yang paling praktis diantara metode diatas, namun
RIA dan ELISA merupakan metode yang memiliki tingkat sensitivitas yang paling
tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Amtarina,
Rina, Arfianti , Andi Zainal. 2017. Faktor
Risiko Hepatitis B Pada Tenaga Kesehatan Kota Pekanbaru. Riau: Fakultas
Kedokteran Universitas Riau.
Anggraini, S.
dan Sri Hendrastuti H. 2014.
Sensitivitas Metode Serologi dan Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi Bean Common Mosaic Potyvirus pada Kacang
Panjang. Jurnal Fitopatologi Indonesia, Vol. 10 (1), hal 17-22.
Anwar, S. 2005. Sintesis, Fungsi Dan
Interpretasi Pemeriksaan Hormon Reproduksi. Bandung : Fakultas Kedokteran
UNPAD.
Das,
Biplab K., dkk. 2011. Anti
Hepatitis B Viral Activity of Phyllanthusreticulatus. Bangladesh Pharmaceutical
Journal. Vol. 14 (1), hal 11-14.
Faisal. 2012. Perbandingan Prevalensi Hbsag Positif
Pada Penderita yang Memeriksakan Diri di Rumah Sakit Islam Gondang Legi Malang Dengan Metode Lisa. SDH, Vol. 1
(2), hal 1-9.
Friedman,
S., Grendell J., dan Mc Quaid K. 2003. Current Diagnosis and Treatment In Gastroenterology.
Edisi ke-2. London: McGraw-Hill.
Handojo
I. 2004.
Immunoassay
Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi.
Surabaya : Airlangga University Press.
Kricka,
L.J dan Ph1l,D. Principle of immunochernical technique. In Carl, A.B dan Edward, R.A
(eds), The textbook of'Clinical Chemistry. 3ed. 1999. Philadelphia WB.
Saunders Company.
Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta: Kemenkes
RI.
RI.
Lopa, AT dkk. 2007. Analisis Kadar Albumin Serum dengan Rasio de Ritis Pada
Penderita Hepatitis B. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol 13 (2), hal 60-62.
Mustafa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen
Gangguan Saluran Cerna Panduan
Bagi Dokter Umum. Lampung: Anugrah Utama Raharja (Aura).
Bagi Dokter Umum. Lampung: Anugrah Utama Raharja (Aura).
Nurcahyadi,
H., dkk. 2012. Perekayasaan Pencacah RIA IP10.1 Untuk Diagnosis Kelenjar Gondok. Pusat Rekayasa
Perangkat Nuklir
(PRPN): Jakarta.
Rahman M, Khan SA, Lodhi Y. 2008. Unconfirmed rective screening tests and
their impact on donor management. Pak J Med Sci. 24:517-9.
their impact on donor management. Pak J Med Sci. 24:517-9.
Sendow, I., dkk. 2015. Pengembangan
Teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(Elisa) Menggunakan Antibodi Monoklonal Untuk
Mendeteksi Antibodi Penyakit Bovine Ephemeral Fever. Jurnal Kedokteran Hewan, Vol 9 (1), hal 5-8.
Susanti, Sernita dan
Firdayanti. 2017. Deteksi
Penyakit Hepatitis-B Pada Ibu Hamil di Puskesmas Abeli Kota
Kendari. Biowallacea, Vol. 4 (1), hal : 572-575.
Sutari, dkk. 2014. Optimasi Pembuatan Coated Tube Human Serum Albumin (HSA)
Untuk Kit Radioimmunoassay (RHA)
Mikroalbuminuria. Jurnal Forum Nuklir
(JFN), Vol. 8 (1), hal 20-26.
Thedja MD. 2012. Genetic
diversity of hepatitis B virus in Indonesia:
Epidemiological and clinical significance. Jakarta: DIC creative.
Epidemiological and clinical significance. Jakarta: DIC creative.
WHO (World
Health Organization). 2002. Departement of Communicable
Disease Survailance And Response. Hepatitis B.
hal 6-8.
WHO (World Health Organization). 2015. World Health Statistics
2015. Switzerland.
Comments
Post a Comment