Hepatitis B | TEKNIK DIAGNOSA PENYAKIT HEPATITIS B (LITERATUR REVIEW)




TEKNIK DIAGNOSA PENYAKIT HEPATITIS B
(LITERATUR REVIEW)
 
      A.    Pendahuluan
Hepatitis B merupakan penyakit radang hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB).  Sampai saat ini hepatitis B masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Menurut WHO (2015) virus hepatitis telah menyebabkan 1,34 juta kematian pada tahun 2015, dan angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan infeksi tuberkulosis dan HIV. Indonesia menduduki urutan ke 3 terbanyak penderita VHB di Asia dengan prevalensi rata-rata 20% atau sekitar 40 juta penduduk Indonesia (Lopa, 2007). Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015), terdapat 28 juta penduduk Indonesia terinfeksi virus Hepatitis B dan C. Sekitar 50% dari kasus tersebut berpotensi untuk menjadi kronis dan 10% berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker hati.
Infeksi virus VHB menjadi masalah serius dalam dunia kesehatan. Hal ini dikarenakan infeksi virus tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel-sel, jaringan dan bahkan semua bagian organ hati. Dan dalam perjalanannya infeksi ini dapat berupa infeksi akut ataupun infeksi kronik yang dapat berkembang menjadi sirosis, karsinoma hepatoselular, kanker hati bahkan dapat menyebabkan kematian.  Infeksi ini mengalami peningkatan setiap tahunnya. Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap tahunnya. Peningkatan kasus infeksi VHB ini diperparah oleh penyebaran VHB yang dapat terjadi dengan begitu mudah.
Dalam penyebarannya, VHB dapat menular secara vertikal maupun horizontal. Virus hepatitis B dapat ditularkan melalui perkutan (misal, tusukan yang melalui kulit) atau mukosa (misal, kontak langsung dengan membran mukosa) paparan darah infeksius atau cairan tubuh yang mengandung darah. Semua orang HBsAg-positif bersifat infeksius. saliva, air mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius (Thedja, 2012). Kebanyakan orang yang terinfeksi tampak sehat dan tanpa gejala, namun bisa saja bersifat infeksius (WHO, 2002). Hal tersebut menyebabkan infeksi HVB ini dapat dengan mudah ditularkan antara individu satu dengan yang lainnya sehingga dapat mengancam pada semua usia seperti bayi, anak-anak, remaja, dewasa sampai orang tua. Dalam kasus baru menunjukkan sebesar 50% penyakit hepatitis B disebabkan oleh penularan virus VHB dari ibu ke bayi (Susanti,2017).
Mengingat penyakit hepatitis B ini merupakan masalah kesehatan yang besar,  maka diperlukan upaya untuk melakukan pencegahan terhadap virus hepatitis B salah satu pencegahan yaitu dengan mendeteksi dini virus tersebut. Jika penularan VHB dapat dicegah, berarti mencegah terjadinya kerusakan hati yang dapat mengarah ke kanker hati sampai kematian. Deteksi virus hepatitis B ini dapat dilakukan dengan beberapa teknik pemeriksaan seperti immunochromatogaphy (ICT) atau rapid test, Enzym Linked Immunoassay (ELISA),  Radio Immunoassay (RIA), RPHA dan PHA. Metode tersebut merupakan jenis metode yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan virus hepatitis B. Namun setiap metode tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri dalam pemeriksaannya. Sehingga perlu dideskripsikan dari masing-masing metode agar nantinya mudah untuk dibedakan antara metode satu dengan yang lainnya.

     B.     Batang Tubuh
Penyakit hepatitis B ini disebabkan oleh adanya infeksi virus hepatitis B (VHB). Virus ini memiliki tiga antigen spesifik, yaitu antigen surface, envelope, dan core. Hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang
ditemukan pada permukaan VHB. Adanya antigen ini menunjukkan infeksi
akut atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B envelope antigen
(HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat hubungannya dengan nukleokapsid
VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein yang larut di serum. Antigen ini
timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan hilang bebebrapa minggu
sebelum HBsAg hilang. Hepatitis B core antigen (HbcAg) merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB. Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin dalam serum penderita infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit (WHO, 2002). Berikut adalah struktur dari VHB:
                                      Gambar 1. Struktur VHB (Sumber : )

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa infeksi virus hepatitis B (VHB) dapat ditularkan melalui jalur vertikal dan horizontal. Jalur vertikal seperti dari ibu ke anak, sedangkan jalur horizontal yaitu penularan yang terjadi akibat berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penderita hepatitis B. VHB ini dapat ditularkan melalui  cairan tubuh seperti darah atau komponennya, saliva, cairan semen dan ASI. Selain itu kontak dengan virus juga dapat terjadi melalui benda-benda
yang bisa dihinggapi oleh darah atau cairan tubuh manusia, misalnya sikat gigi,
alat cukur, atau alat pemantau dan alat perawatan penyakit diabetes (Mustofa dan Kurniawaty, 2013). Dengan demikian, telah dikembangkan berbagai teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi maupun memeriksa keberadaan virus hepatitis B tersebut seperti immunochromatogaphy (ICT) atau rapid test, Enzym Linked Immunoassay (ELISA),  Radio Immunoassay (RIA), Passive Hemaglutination Assay (PHA) dan Reverse Passive Haemagglutination Assay (RPHA).

1.         ICT (Imunocromatographi Test)
Virus Hepatitis B dalam tubuh pasien dapat dilakukan dengan pemeriksaan HBsAg secara imunologis dengan menggunakan metode  yang efektif dan efisien yaitu HBsAg-rapid screening test metode imunocromatographi test (ICT). ICT disebut juga sebagai uji strip (Strip test). Akhir-akhir ini ICT menjadi salah satu metode uji strip yang paling banyak digunakan dalam deteksi VHB, karena berbeda dari metode yang lain, metode ini tidak memerlukan peralatan untuk membaca hasilnya, tetapi cukup dilihat dengan kasat mata, sehingga jauh lebih praktis. Selain itu menurut Amtarina (2006), uij strip ini akan memberikan hasil yang analisis yang cepat. Dalam penelitian Susanti dkk (2017), ICT digunakan untuk mendeteksi VHB pada ibu hamil dengan cara strip HBsAg dimasukkan ke dalam masing-masing sampel serum hingga tanda batas, dikeluarkan strip dari sampel, dan dilakukan pembacaan hasil setelah 10 menit.
Pada prinsipnya ICT ini merupakan uji yang dapat mendeteksi antigen yang terdapat pada serum atau plasma melalui adanya pengikatan antara antigen (HBsAG) dengan antibody (anti-HBs) pada daerah test line, selanjutnya antibody akan berikatan dengan colloidal gold-labeled conjugate.  Komplek yang terbentuk akan bergerak pada membran nitroselulosa. Tes ini dapat mendeteksi konsentrasi HBsAg dalam serum kurang dari 5 ng/ml dalam 20 menit dan 1 ng / ml dalam 30 menit (Wijayanti 2016). Adapaun tahapan dalam pemeriksaan HBsAg untuk diagnosa Hepatitis B menggunakan metode imunocromatographi yaitu:
1.      Menyiapkan tabung serologis dan diletakkan pada rak tabung serologis.
2.      Mengambil serum atau plasma dengan menggunakan clinipete sebanyak 200 µl secara hati-hati. 
3.      Meletakkan pada tabung yang telah diberikan label identitas sesuai dengan pemilik sampel tersebut. Memasukkan stick dalam tabung secara perlahan-lahan.
4.      Tunggu dan biarkan selama 10-15 menit supaya serum bereaksi secara sempurna.
5.      Intrepetasi hasil ini berupa adanya HBsAg dalam serum akan membentuk 2 tanda garis merah pada stick yang nampak jelas dalam waktu kurang lebih 15 menit. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Dibawah ini :
 




                                Gambar 2. Hasil imunocromatographi test (Sumber :Wijayanti 2016).


Adapun kelebihan metode ini yaitu antara lain waktu yang diperlukan untuk pengujian relatif singkat sekitar 2-10 menit dan hasil uji dapat dilihat secara langsung. Pengujian dengan metode ini juga dapat dilakukan oleh setiap orang karena tidak memerlukan ketrampilan khusus seperti halnya dalam uji ELISA. Selain itu, metode ini dapat dijadikan sebagai pemeriksaan awal (screening test) untuk uji kualitatif dan dapat dikerjakan langsung di lapangan karena merupakan alat uji yang sederhana. Walaupun, metode ini lebih sederhana dan mudah dibandingkan metode lainnya, akan tetapi memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap antigen. Peralatan rapid diagnostic ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih murah dan tidak memerlukan peralatan kompleks (Rahman dkk, 2008).

2.        ELISA (Enzym Linked Imuno Sorbent Assay)
Selain itu metode lain yang juga sering digunakan dalam deteksi VHB ini adalah ELISA (Enzym Linked Imuno Sorbent Assay). ELISA adalah salah satu tes pemeriksaan yang tergolong dalam generasi ketiga menurut WHO. Menurut Faisal (2012), ELISA dianggap pemeriksaan yang memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi yang mampu menunjang diagnosa klinis hepatitis B. Sedangkan menurut Sendow dkk (2015) menyatakan bahwa ELISA merupakan uji serologis
sederhana dan cepat untuk mendeteksi antibodi dan
antigen virus dalam sampel.
Secara umum prinsip dari pemeriksaan ELISA (Enzym Linked Imuno Sorbent Assay) adalah reaksi antigen-antibodi (Ag - Ab) dimana setelah penambahan konjugat yaitu antigen atau antibodi yang dilabel enzim dan substrat akan terjadi perubahan warna. Perubahan warna ini yang akan diukur intensitasnya dengan alat pembaca yang disebut spektrofotometer atau ELISA reader dengan menggunakan panjang gelombang tertentu (Handojo dan Indro, 2004). Metode ELISA ini dibagi 2 jenis tehnik yaitu tehnik kompetitif dan non kompetitif. Tehnik non kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirek. Metode kompetitif mempunyai prinsip sampel ditambahkan antigen yang berlabel dan tidak berlabel dan terjadi kompetisi membentuk kompleks yang terbatas dengan antibodi spesifik pada fase padat. Prinsip dasar dari sandwich assay adalah sampel yang mengandung antigen direaksikan dengan antibody spesifik pertama yang terikat dengan fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibodi spesifik kedua yang berlabel enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut (Asihara dan Kasahara, 2001).
Ada tiga tahapan penting dalam uji ELISA yaitu :
1.      Pelapisan (coating) dengan antigen atau antibodi pada plate ( Phase padat ). Pelapisan dengan dengan antigen untuk penentuan antibodi untuk penentuan antigen.
2.      Penambahan bahan yang ditentukan (diperiksa), misalnya serum, plasma, saliva dan cairan tubuh yang lain.
3.       Penambahan detektor yang berfungsi untuk mendeteksi ikatan Ag–Ab yang terjadi. Ada dua detektor yang digunakan yaitu :
a.       Penambahan  konjugat yaitu antigen atau  antibodi  yang berlabel enzim, misalnya Horse Radish Peroxidase (HRPO). Alkaline Phosphatase, Urease, Glukose-Oxidase (GOP) dan lain-lain. 
b.      Penambahan substrat yang berfungsi memberi perubahan warna   pada   reaksi.   Misalnya   TMB   (Tetra   Methyl Benzidine, O- Toluidine, OPD, ABTS dan lain-lain.
                  Gambar 3. Prinsip metode ELISA (Sumber : Anwar, 2005).


Dalam pendeteksiannya, metode ELISA ini memiliki kelebihan tersendiri bila dibandingkan dengan metode lainnya. Menurut Anggraini dan Sri (2014),  kelebihan metode ELISA ialah sensitivitas yang sangat tinggi sehingga dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah (1–10 ng mL-1), dapat menguji sampel dalam jumlah banyak secara cepat, menggunakan antiserum sedikit, memperoleh data secara kualitatif dan kuantitatif, dan tahapan pengujian yang mudah. Namun metode ELISA ini juga tidak terlepas dari kekurangan. Menurut Asihara dan Kasahara (2001), yaitu pemeriksaan menggunakan enzim sebagai label cukup kompleks karena akvitas enzim dipengaruhi oleh berbagai factor

3.        RIA (Radio Immunoassay)
Metode lain yang bisa digunakana untuk deteksi VHB yaitu RIA (Radio Immunoassay). RIA adalah suatu metode analisis berdasarkan pada reaksi imunologi atau ikatan antigen-antibodi, dengan reaksi kompetisi antara antigen bertanda radioaktif (Ag*) dengan antigen tak bertanda (Ag) terhadap antibodi (Ab) yang jumlahnya terbatas. Metode ini sangat spesifik karena didasarkan pada reaksi imunologi yaitu ikatan antara antigen-antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu dan sangat peka karena menggunakan perunut radioaktif yang dapat dideteksi dengan alat-alat yang kepekaannya tinggi, sehingga ketelitiannya tinggi. Oleh karena itu metode ini banyak digunakan untuk menganalisis zat-zat yang ada di dalam cairan tubuh, seperti serum, plasma, urine dan kultur media yang kadarnya rendah akan tetapi matriksnya kompleks sehingga metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi organ atau suatu penyakit seperti penyakit hepatitis B (Sutari, dkk., 2014).
Menurut Asihara dan Kasahara (2001), metode radioimmunoassay (RIA) mempunyai 2 jenis prinsip yaitu kompetitif dan non kompetitif. Prinsip non kompetitif yang paling banyak di gunakan adalah sandwich. Prinsip dasar dari sandwich adalah reaksi suatu antibodi dalam konsentrasi yang terbatas dengan berbagai konsentrasi antigen. Bagian dari antigen yang bebas dan yang terikat yang timbul sebagai akibat dari penggunaan antobodi dalam kadar yang terbatas ditentukan dengan menggunakan antigen yang diberi label radio isotop. Prinsip radioimunoassay non kompetitif sandwich ini dapat dilihat pada gambar 4. dibawah ini :
 Gambar 4. Prinsip Radioimunoassay Non Kompetitif Sandwich (Sumber : Anwar, 2005).

Sedangkan pada prinsip kompetitif bahan yang mengandung antigen yang berlabel dan antigen yang terdapat di dalam sampel akan diberi label radio isotop sehingga terjadi kompetisi antara antigen yang akan ditentukan kadarnya dan antigen yang diberi label dalam proses pengikatan antibodi spesifik tersebut sampai terjadi
keseimbangan. Sisa antigen yang diberi label dan tidak terikat dengan antibodi
dipisahkan oleh proses pencucian. Setelah itu dilakukan penambahan konjugat,
Sehingga terjadi pembentukan kompleks imun dengan konjugat. Jumlah antigen berlabel yang terikat, antibodi pada fase padat, dan konjugat dapat ditentukan dengan suatu radiation counter atau gamma counter.
Adapun kelebihan dari metode ini yaitu sangat sensitivitas, tidak menimbulkan rasa sakit, tidak memberikan efek sampingan sehingga dapat digunakan pada hampir semua penderita penyakit termasuk pasien yang sudah parah keadaannya dan selain untuk evaluasi anatomis juga dapat untuk mengetahui fungsi organ tersebut. Dalam suatu penelitian, menyatakan bahwa sensitivitas metode ini lebih rendah bila dibandingkan dengan metode ELISA. Selain itu kekurangan dari metode ini yaitu reagen kurang stabil dan emerlukan proteksi terhadap zat radioaktif (radioctive hazardous) (Nurcahyadi, 2012).

4. .        PHA (Passive Haemagglutination Assay)
PHA (Passive Haemagglutination Assay) merupakan salah satu metode pemeriksaan yang biasa dipakai untuk mendeteksi petanda serologis infeksi VHB (Amtarina, dkk., 2017).  Prinsipnya PHA ini yaitu dengan mengaktifkan antibodi ke Au (Au-Ab) untuk dideteksi. Sel darah merah teradsorbsi dengan immunoglobulin (IgG) anti HBs yg memiliki kemurnian tinggi diaglutinasi secara khusus dengan adanya HBsAg dalam serum dan sampel uji dapat menghambat aglutinasi baik oleh pengikatan dengan antibody binding sites pada HBsAg atau menetralisir HBsAg.
                               Gambar 5. Prinsip PHA (Sumber : www.slideshare.net)

Adapun kelebihan dari metode ini bila dibandingkan dengan metode lainnya yaitu Cocok digunakan untuk pemeriksaan semikuantitatif karena paling praktis dan murah, haemaglutinasi pasif (PHA) lebih sensitif daripada CIE untuk mendeteksi anti-HBs, teknik paling sederhana dibandingkan dengan metode yang lain seperti ELISA dan RIA. Sedangkan kekurangan dari metode ini yaitu pemeriksaannya kurang sensitive bila dibandingkan dengan metode ELISA dan RIA,  dan merupakan tes yang paling tidak memuaskan, terutama karena masalah teknis. Penggunaan PHA (passive hemagglutination assay) untuk deteksi hepatitis B tidak begitu bagus karena alat yang digunakan sering mengalami masalah teknis serta hasil yang diproleh kurang sensitive, sehingga peneliti mengharapkan penelitian lebih lanjut dengan metode yang lebih efisien (Amtarina, dkk., 2017).

5.      RPHA (Reverse Passive Haemagglutination Assay)
Prinsip RPHA (Reverse Passive Haemagglutination Assay) yaitu sel darah merah yang terdiri dari eritrosit ayam yang teradsorbsi dengan immunoglobulin (IgG) anti HBs marmot ygmemiliki kemurnian tinggi diaglutinasi secara khusus dengan adanya HBsAg dalam serum dansampel uji dapat menghambat aglutinasi baik oleh pengikatan dengan antibody binding sites pada HBsAg atau menetralisir HBsAg (Das, dkk., (2011).
 Untuk pengujiannya dapat dilakukan dengn cara pada awalnya serum positif HBsAg positif diperoleh dari pasien terinfeksi virus hepatitis B (HBV) yang terkait dengan penyakit hati akut dan kronis. Sampel serum dicampur dengan volume sampel uji yang sama (0,2 ml sampel serum + 0,2 ml sampel uji). Campuran diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ° C. Sedangkankontrol hanya terdiri dari serum serapan fosfat buffer (PBS) digunakan dalam setiap rangkaian percobaan.
 

                                              Gambar 6. (Sumber : www.slideshare.net)

Adapun kelebihan dari metode RPHA ini yaitu metode ini merupakan semi kuantitatif  yang paling praktis dan murah bila dibandingkan dengan metode hemaglutinasi lain seperti PHA. Namun kurang dari metode ini yaitu sensitifnya kurang bila dibandingkan dengan metode ELISA.

A.    Kesimpulan
             Pemeriksaan dini hepatitis B ini berguna untuk mencegah terjadinya infeksi hepatitis. Metode pemeriksaan yang sering digunakan antara lain immunochromatogaphy (ICT) atau rapid test, Enzym Linked Immunoassay (ELISA),  Radio Immunoassay (RIA), Passive Hemaglutination Assay (PHA) dan Reverse Passive Haemagglutination Assay (RPHA). Setiap metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari metode tersebut dapat dikatakan bahwa ICT merupakan metode pemeriksaan yang paling praktis diantara metode diatas, namun RIA dan ELISA merupakan metode yang memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Amtarina, Rina, Arfianti , Andi Zainal. 2017. Faktor Risiko Hepatitis B Pada Tenaga Kesehatan Kota Pekanbaru. Riau: Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Anggraini, S.  dan  Sri Hendrastuti H. 2014. Sensitivitas Metode Serologi dan Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi Bean Common Mosaic Potyvirus pada Kacang Panjang. Jurnal Fitopatologi Indonesia, Vol. 10 (1), hal 17-22.
Anwar, S. 2005. Sintesis, Fungsi Dan Interpretasi Pemeriksaan Hormon Reproduksi. Bandung : Fakultas Kedokteran UNPAD.
Das, Biplab K., dkk. 2011. Anti Hepatitis B Viral Activity of Phyllanthusreticulatus. Bangladesh Pharmaceutical Journal. Vol. 14 (1), hal 11-14.
Faisal. 2012. Perbandingan Prevalensi Hbsag Positif Pada Penderita yang Memeriksakan Diri di Rumah Sakit Islam Gondang Legi Malang Dengan Metode Lisa. SDH, Vol. 1 (2), hal 1-9.
Friedman, S., Grendell J., dan Mc Quaid K. 2003. Current Diagnosis and Treatment In Gastroenterology. Edisi ke-2. London: McGraw-Hill.
Handojo I.  2004. Immunoassay Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press.
Kricka, L.J dan Ph1l,D. Principle of immunochernical technique. In Carl, A.B dan Edward, R.A (eds), The textbook of'Clinical Chemistry. 3ed. 1999. Philadelphia WB. Saunders Company.
Kemenkes RI. 2015.  Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta: Kemenkes
RI.
Lopa, AT dkk. 2007. Analisis Kadar Albumin Serum dengan Rasio de Ritis Pada Penderita Hepatitis B. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol 13 (2), hal 60-62.
Mustafa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen Gangguan Saluran Cerna Panduan
Bagi Dokter Umum. Lampung: Anugrah Utama Raharja (Aura).
Nurcahyadi, H., dkk. 2012. Perekayasaan Pencacah RIA IP10.1 Untuk Diagnosis Kelenjar Gondok. Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir (PRPN): Jakarta.
Rahman M, Khan SA, Lodhi Y. 2008. Unconfirmed rective screening tests and
their impact on donor management. Pak J Med Sci. 24:517-9.
Sendow, I., dkk. 2015. Pengembangan Teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (Elisa) Menggunakan Antibodi Monoklonal Untuk Mendeteksi Antibodi Penyakit Bovine Ephemeral Fever. Jurnal Kedokteran Hewan, Vol 9 (1), hal 5-8.
Susanti, Sernita dan Firdayanti. 2017. Deteksi Penyakit Hepatitis-B Pada Ibu Hamil di Puskesmas Abeli Kota Kendari. Biowallacea, Vol. 4 (1), hal : 572-575.
Sutari, dkk. 2014. Optimasi Pembuatan Coated Tube Human Serum Albumin (HSA) Untuk Kit Radioimmunoassay (RHA) Mikroalbuminuria. Jurnal Forum Nuklir (JFN), Vol. 8 (1), hal 20-26.
Thedja MD. 2012. Genetic diversity of hepatitis B virus in Indonesia:
Epidemiological and clinical significance. Jakarta: DIC creative.
WHO (World Health Organization). 2002. Departement of Communicable Disease Survailance And Response. Hepatitis B. hal 6-8.
WHO (World Health Organization). 2015. World Health Statistics 2015.  Switzerland.





Comments